Jumat, 21 Juni 2013

TATA KELOLA PERUSAHAAN (Corporate Governance)




1.         Pengertian Corporate Governance
Kata “governance” berasal dari bahasa Perancis gubernance” yang berarti pengendalian. Selanjutnya kata tersebut dipergunakan dalam konteks kegiatan perusahaan atau jenis organisasi yang lain, menjadi corporate governance. Dalam bahasa Indonesia corporate governance diterjemahkan sebagai tata kelola atau tata pemerintahan perusahaan.
            Mengacu  pada  pendapat  Cadbury  Committee  (1992)  pengertian corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah,  karyawan,  masyarakat    serta  para  pemegang  kepentingan  intern dan  ekstern  lainnya  yang  berkaitan  dengan  hak-hak  dan  kewajiban  mereka, atau   dengan   kata   lain   suatu   sistem   yang   mengatur   dan   mengendalikan perusahaan.
            Forum for Corporate Governance in Indonesia (2000) mendefinisikan corporate  governance  sebagai  “...seperangkat  peraturan  yang  mengatur hubungan antara pemegang, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya  yang  berkaitan  dengan  hak-hak  dan  kewajiban  mereka  atau  dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan”.
            The Indonesian Institute For Corporate Governance (2000) mendefinisikan, “Corporate Governance sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahan, dengan tujuan utama meningkatkan nilai  pemegang  saham  dalam  jangka  panjang,  dengan  tetap  memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain”.
            Gunasih, T. (2003) menyatakan, “Esensi corporate governance adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau pemantauan kinerja manajemen  dan  adanya  akuntabilitas  manajemen  terhadap  pemangku kepentingan  lainnya,  berdasarkan  kerangka  aturan  dan  peraturan  berlaku”.

2.         Sudut Pandang (Perspektif) Corporate Governance
Mengacu pada pendapat Solomon dan Solomon (2004) perspektif corporate governance dapat dilihat dari 2 (dua) sudut pandang. Kedua sudut pandang tersebut, yaitu sudut pandang sempit (narrow view) dan luas (broad view).
Berdasarkan sudut pandang sempit, tata kelola perusahaan yang baik diartikan sebagai hubungan yang setara antara perusahaan dengan pemegang saham. Definisi ini ditunjukkan dalam teori keagenan (Agency Theory).
Teori keagenan menjelaskan bagaimana cara terbaik untuk mengatur hubungan-hubungan dimana satu pihak (pemilik) mendelegasikan tugas atau pekerjaan bagi pihak lain (agen atau dewan). Konsep pemisahan antara kepemilikan  (ownership)  para  pemegang  saham  dan  pengendalian  (control) para  manajemen  dalam  korporasi  muncul  karena  adanya  perbedaan kepentingan antara pemilik modal dengan manajemen sebagai pengelola dana (agen).
Para pemilik (stockholders) memilih dewan (komisaris) yang kemudian menggaji  manajemen  sebagai  agen  mereka  dalam  menjalankan aktivitas bisnis dari hari ke hari. Agency Theory ini juga timbul sebagai akibat para pemilik (stockholders) mengalami kesulitan untuk memverifikasi apa yang sesungguhnya sedang dikerjakan manajemen sebagai agen mereka.
Berdasarkan sudut pandang luas (broad view), tata kelola perusahaan yang baik merupakan a web of relationship, tidak hanya perusahaan dengan pemilik  atau  pemegang  saham,  tetapi  juga  antara  perusahaan  dengan  pihak petaruh (stakeholders) lain, yaitu karyawan, pelanggan, pemasok, bondholders, dan lainnya. Definisi ini ditunjukkan dalam Teori Stakeholders.
Mengacu  pada  pendapat  Donaldson  dan  Preston  (1995)  Teori Stakeholders  membedakan  dua  model  hubungan  stakeholders  dengan perusahaan, yaitu Model Input-Output dan Model Stakeholders. Pada Model Input-Output, investor, karyawan, dan pemasok dianggap sebagai input yang oleh   perusahaan   ditransformasi   ke   dalam   output   yang   didistribusikan
kepada pelanggan.
Model Stakeholders memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders. Pernyataan ini sejalan dengan konsep tata kelola perusahaan yang menunjukkan bahwa    perusahaan    menciptakan    nilai    bagi    pemegang    saham    dengan
Menyeimbangkan kepentingan seluruh stakeholders. Lukviarman (2005) menyatakan,  “Dalam  perspektif  stakeholders,  keberadaan  perusahaan selayaknya mengacu kepada peningkatan kemakmuran berbagai pihak petaruh secara   lebih   luas”.   Perspektif   ini   memberikan   penekanan   kepada perlunya:
a.   Partisipasi stakeholders di dalam pengambilan keputusan perusahaan.
b.   Hubungan kontraktual jangka panjang antara perusahaan dengan stakeholders.
c.   Hubungan berbasis kepercayaan (trust relationship).
d.   Berjalannya etika bisnis menyangkut hubungan perusahaan dengan pihak lainnya.
Lukviarman (2005), menyatakan “Perspektif stakeholders memberikan implikasi bahwa manajemen harus mempertimbangkan stakeholders di dalam berbagai keputusan organisasi”.

3.         Tujuan dan Manfaat Good Corporate Governance
Mengacu kepada pendapat Daniri (2006) GCG mempunyai lima macam tujuan utama. Kelima tujuan utama tersebut adalah sebagai berikut:
a.   Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham.
b.  Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders non pemegang saham.
c.   Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham.
d.   Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board of
      Directors dan manajemen perusahaan.
e. Meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen senior perusahaan.

4.         Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Penerapan Good Corporate Governance
Mengacu pada pendapat Daniri (2006) ada dua faktor yang memegang peranan terhadap keberhasilan penerapan GCG, yaitu:
4.1  Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah berbagai faktor yang berasal dari luar perusahaan yang sangat    mempengaruhi    keberhasilan    penerapan    GCG.    Faktor eksternal tersebut diantaranya adalah:
a. Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan efektif.
b. Adanya dukungan pelaksanaan GCG dari sektor publik / lembaga pemerintahan yang diharapkan dapat pula melaksanakan Good Governance dan Clean Goverment menuju Good Goverment Governance yang sebenarnya.
c.  Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best practices) yang dapat menjadi standar pelaksanaan GCG yang efektif dan profesional. Dengan kata lain, semacam benchmark (acuan), terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan GCG di masyarakat.
4.2   Faktor Internal
Faktor  internal  adalah  pendorong  keberhasilan  pelaksanaan  praktik  GCG
yang berasal dari dalam perusahaan. Faktor internal tersebut diantaranya adalah:
a. Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan GCG dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan.
b. Adanya berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada penerapan nilai-nilai GCG.
      c. Adanya  manajemen  pengendalian  resiko  perusahaan  juga  didasarkan pada kaidah-kaidah standar GCG.
d. Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan untuk menghindari setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi.
e.   Adanya  keterbukaan  informasi  bagi  publik  untuk  mampu  memahami setiap   gerak   dan   langkah   manajemen   dalam   perusahaan   sehingga kalangan publik dapat memahami dan mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu ke waktu.
Di luar dua faktor di atas, aspek lain yang paling strategis dalam mendukung penerapan GCG secara efektif adalah kualitas, skill, kredibilitas, dan integritas berbagai pihak yang menggerakkan perusahaan.

Minggu, 07 April 2013

HAK MEREK


HAK MEREK


Disusun Oleh:
Kelompok                   : 2  (Dua)
Nama Anggota            : a. Aminah                              / 32409750
                                      b. Afrizal Mulyana                / 30408044
                                      c. Fachri Fauzi                       / 32409004
                                      d. Haryo Wijoseno                / 3A409307
                                      e. M. Ilham Syahfrizal          / 31409070
                                      f. Muammar Alamsyah         / 3A412169
                                      g. Panji Utama                      / 35409520
                                      h. Sigit Purnomo                   / 32409752
Mata Kuliah                : Hukum Industri
Dosen                          : Bu Anita, ST.



JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARAMA
DEPOK
2013
BAB I
PENDAHULUAN


1.1       Latar Belakang
Perkembangan teknologi seiring berjalannya waktu selalu menghasilkan produk-produk baru atau pengembangan dari produk-produk sebelumnya yang memiliki kealitas berbeda-beda. Saat produk tersebut ingin dikenalkan dan dijual ke konsumen, maka perusahaan membutuhkan merek. Menurut pasal 1 butir 1 Undang-Undang Merek 2001 diberikan suatu definisi tentang merek yaitu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Pemberian merek untuk suatu produk dapat memberikan keuntungan yang lebih banyak kepada perusahaan. Keuntungan yang diperoleh dari merek-merek terkenal juga menimbulkan banyaknya pengusaha yang numpang nama atau menggunakan merek dagang orang lain tanpa ijin si pemilik asli merek dagang. Alasannya seperti agar mudah dipasarkan mudah untuk bertransaksi jual beli. Perusahaan tidak perlu mengurus nomor pendaftaran ke Dirjen HAKI. Mengurangi pengeluaran untuk membangun citra produknya (brand image). Perusahaan tidak perlu membuat divisi riset dan pengembangan untuk dapat menghasilkan produk yang selalu up to date.
Kenyataan ini memang tidak bisa disangkal karena fakta dilapangan, dimana masyarakat memiliki kriteria untuk mengkonsumsi suatu produk. Salah satu dari kriteria tersebut melihat merek sebuah produk kemudian baru membelinya.

1.2       Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan tentu dapat terlihat banayak hal yang peru dibenahi. Berikut beberapa perumusan masalah yang akan dibahas:
  1. Bagaimana kasus plagiarisme bisa dan masih tetap terjadi dalam masyarakat.
  2. Bagaimana kasus penolakan dan tidak bisa didaftarkannya sebuah merek bisa terjadi.
  3. Bagaimana problem solving untuk kasus yang telah terjadi dimasyarakat dan cara pencegahannya.















 BAB II
LANDASAN TEORI


2.1       Pengertian Hak Merek
            Terkait dengan berbagai kasus merek yang terjadi perlu untuk diketahui apa pengertian dari merek itu sendiri. Pengertian dari merek secara yuridis tercantum dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 15 tahun 2001 yang berbunyi :
“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa”.
Selain menurut batasan juridis beberapa sarjana ada juga memberikan pendapatnya tentang merek, yaitu:
1.      Rumusan  dari H.M.N. Purwo Sutjipto, S.H., bahwa merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis.
2.      Rumusan dari Prof. R. Soekardono, S.H., bahwa merek adalah sebuah tanda (Jawa: siri atau tengger) dengan mana dipribadikan sebuah barang tertentu, di mana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitas barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain.
3.      Essel R. Dillavou, Sarjana Amerika Serikat, sebagaimana dikutip oleh Pratasius Daritan, merumuskan seraya memberikan komentar bahwa tidak ada definisi yang lengkap yang dapat diberikan untuk suatu merek dagang.
Pengertian secara umum adalah suatu lambang, simbol, tanda, perkataan atau susunan kata-kata di dalam bentuk suatu etiket yang dikutip dan dipakai oleh seorang pengusaha atau distributor untuk menandakan barang-barang khususnya, dan tidak ada orang lain mempunyai hak sah untuk memakainya desain atau trade mark menunjukkan keaslian tetapi sekarang itu dipakai sebagai suatu mekanisme periklanan.
Indonesia adalah negara hukum dan hal itu diwujudkan dengan berbagai regulasi yang telah dilahirkan untuk mengatai berbagai masalah. Berkaitan dengan kasus-kasus terkait merek yang banyak terjadi. Tidak hanya membuat aturan-aturan dalam negeri, negeri seribu ini juga ikut serta dalam berbagai perjanjain dan kesepakatan internasional. Salah satuya adalah meratifikasi Kovensi Internasional tentang TRIPs dan WTO yang telah diundangkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) sesuai dengan kesepakatan internasional bahwa pada tanggal 1 Januari 2000 Indonesia sudah harus menerapkan semua perjanjian-perjanjian yang ada dalam kerangka TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Right, Inculding Trade in Counterfeit Good), penerapan semua ketentuan-ketentuan yang ada dalam TRIPs tersebut adalah merupakan konsekuensi Negara Indonesia  sebagai anggota dari WTO (Word Trade Organization).
Pada tahun 1961 Indonesia mempunyai Undang-undang baru mengenai merek perusahaan dan perniagaan LN. No. 290 Tahun 1961 dengan 24 pasal dan tidak mencantumkan sanksi pidana terhadap pelanggaran merek. Dengan meningkatnya perdagangan dan industri serta terbukanya sistem ekonomi yang dianut Indonesia maka lahir berbagai kasus merek. Perkembangan sengketa merek di dunia semakin ramai yang khususnya menyerang pemilik merek terkenal yang menimbulkan konflik dengan pengusaha lokal, berbagai alasan yang menyebabkannya diantaranya :
1.    Terbukanya sistem ekonomi nasional, sehingga pengusaha nasional dapat mengetahui dan memanfaatkan merek-merek terkenal untuk digunakan dan didaftar lebih dulu di Indonesia demi kepentingan usahanya.
2.   Pemilik merek terkenal belum atau tidak mendaftarkan dan menggunakan mereknya di Indonesia.
Banyaknya sengketa merek maka pada tahun 1987 pemerintah menetapkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.01-HC.01.01 Tahun 1987 tentang “Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek yang mempunyai Persamaan dengan Merek Terkenal Orang lain”. Dengan adanya aturan tersebut maka banyak sekali pemilik merek terkenal yang mengajukan gugatan pembatalan mereknya dan banyak pula perpanjangan merek yang ditolak oleh kantor merek dikarenakan mempergunakan merek orang lain. Keputusan tersebut kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Kehakiman No. M.03-HC.02.01 untuk lebih memberikan perlindungan terhadap pemilik merek-merek terkenal.
Selama masa berlakunya UU No. 21 Tahun 1961, banyak sekali perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam dunia perdagangan, dimana norma dan tatanan dagang telah berkembang dan berubah dengan cepat, hal tersebut menyebabkan konsepsi yang tertuang dalam Undang-undang merek Tahun 1961 sudah sangat tertinggal jauh sekali. Untuk mengantisipasi perkembangan tersebut maka pemerintah pada waktu itu mengeluarkan UU No. 19 Tahun 1992 tentang merek (LN. No.81 Tahun 1992) sebagai pengganti UU No.21 tahun 1961.

2.2       Jenis-jenis Merek
Menurut wikipedia, merek dibagi menjadi 3 jenis, yaitu
1.      Merek Dagang
Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
2.      Merek Jasa
Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
3.      Merek Kolektif
Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.


2.3       Fungsi Pendaftaran Hak Merek
Pendaftaran hak merek dapat diajukan oleh seseorang, beberapa orang dan badan hukum. Berikut fungsi pendaftaran hak merek:
1.      Sebagai alat bukti bagi pemilik yang berhak atas merek yang didaftarkan.
2.      Sebagai dasar penolakan terhadap merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya yang dimohonkan pendaftaran oleh orang lain untuk barang/jasa sejenis.
3.      Sebagai dasar untuk mencegah orang lain memakai merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya dalam peredaran untuk barang/jasa sejenis.

2.4       Penyebab Hak Merek Tidak Dapat Didaftarkan
Menurut Wikipedia, berikut beberapa penyebab hak merek tidak dapat didaftarkan:
1.       Didaftarkan oleh pemohon yang tidak beritikad baik.
2.       Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas keagamaan, kesusilaan, atau ketertiban umum.
3.       Tidak memiliki daya pembeda
4.       Telah menjadi milik umum
5.       Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya (Pasal 4 dan Pasal 5 UU Merek).










BAB III
PEMBAHASAN


Kasus yang akan dibahas dalam bab ini terbagi menjadi dua macam, yaitu kasus nasional dan kasus international. Berikut kasus-kasus yang pernah terjadi mengenai hak merek.

3.1       Kasus Nasional
Kasus antara extra joss dan enerjos dimana pihak extra joss (PT. Bintang Toedjoe) menggugat pihak enerjos (PT. Sayap Mas Utama (anak perusahaan Wings Group)) ke pengadilan niaga Jakarta pusat untuk membatalkan merek enerjos. Gugatan diajukan dengan mengacu pada ketentuan pasal 4 dan ayat (1) UU no 15/2001 tentang Merek, yang mana secara khusus melarang pendaftaran yang diajukan atas itikad tidak baik dan perlindungan atas suatu  merek terkenal. Dimana kedua produk ini merupakan merek serupa, namun beda kemasan (“Extra Joss”: sachet, “Enerjos”: botol). Serta tulisan “joss” ini telah didaftarkan dengan No. 383312 (15 agustus 1997) untuk kelas 5 diperpanjang No. 312898 (16 Juli 2002). Jenis barang kelas 5 untuk produk makanan dan minuman kesehatan. Serta logo juga didaftarkan (kepalan tangan berwarna kuning) dan juga mendaftarkan di 15 negara selain Indonesia yaitu negara Asean, Jepang, U.S. Nigeria. Pemasarannya di mulai 1992 sedangkan kata ”joss” merupakan unsur substansial, berkonotasi energi dan stamina. Sedangkan “Enerjos” telah didaftarkan pada 6 Juli 2000.
Berdasarkan dari pengadilan negeri niaga Jakarta pusat menurut para hakim bahwa kata2 joss di dalam kedua produk ini memiliki kesamaan bunyi meskipun essensial. Berdasarkan Profesor Anton M Moeliono, mengatakan bahwa kata jos berasal dari bahasa jawa yang merupakan tiruan bunyi seperti pada ungkapan mak jos (langsung masuk). Dalam bahasa Sunda juga dikenal kata jos dalam jos nojos yang berarti memukul dengan kepalan tangan. Menurut profesor lingustik (ahli bahasa) dari Universitas Indonesia dan Unika Atmajaya ini, Extra Joss melalui produk minuman kesehatannya telah megubah makna kata jos tersebut menjadi penambah vitalitas. Hal tersebut didukung juga oleh gambar kepalan tangan dalam kemasan Extra Joss.
Dengan demikian, menurut Prof. Anton, jika ada produk sejenis (minuman kesehatan) yang juga menggunakan kata jos maka akan timbul persepsi bahwa kedua produk itu sama atau paling tidak diproduksi oleh pabrik yang sama. Lain halnya jika kata jos itu digunakan untuk produk yang tidak sejenis, Selain itu berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UUM 15/2001: “….memilki persamaan pada pokoknya…” dimana maksud persepsi dari kedua perusahaan itu tentang produk itu pada dasarnya sama. Serta bila dilihat dari pendaftaran merek maka extra joss lah yang lebih dulu dalam mendaftarkannya. Serta karena extra joss dinilai sebagai merek terkenal dilihat dari “Reputasi & Promosi” dimana extra joss gencar mengiklankan produknya bahkan mendatangkan Alexandro Del Piero sebagai bintangnya, kemudian produk ini sangat terkenal dan distinctive karena orang telah lama mengenal produk ini dan laku dipasaran sehingga nama,“Joss” telah dikenal berhubungan dengan Bintang Toedjoe dan extra joss sehingga produk lain yang memakai nama joss, masyarakat pasti mengira bahwa itu satu produk atau satu perusahaan. Oleh karena itu pada tingkat pengadilan negeri niaga extra joss dimenangkan namun pada tingkat pengadilan tinggi maupun kasasi dan peninjauan kembali pihak enerjos dimenangkan. Pada PK extra joss menyebut dua alasan pengajuan PK ke Mahkamah Agung tersebut. Pertama, adanya penggelapan data berkaitan dengan jangka waktu mengajukan gugatan Pihak Extra Joss dinyatakan telah melewati jangka waktu gugatan serta dianggap sebagai suatu merek yang tidak terkenal. Alasan kedua mengajukan PK tersebut adalah adanya novum (bukti-bukti baru). Novum tersebut berupa belanja iklan, bukti promosi dan marketing antara 1997- 2000. atas alasan PK pertama pengacara dari pihak extra joss mengatakan bahwa jangka waktu gugatan yang di ajukan dinyatakan sah karena masih di bawah lima tahun. Di hitung sejak tanggal pendaftaran Extra Joss pada 6 Juli 2000. Jadi seharusnya waktu kadaluwarsa adalah lima tahun kemudian, namun pihak mereka mengajukannya pada 15 Februari 2005, kemudian atas alasan PK kedua pihak extra joss tersebut adalah adanya novum bukti-bukti baru). Novum tersebut berupa belanja iklan, bukti promosi dan marketing antara 1997-2000. Karena Hakim juga menyatakan Extra Joss sebagai barang tidak terkenal, karena itu pihak extra joss mengajukan novum untuk membantahnya.
Untuk syarat suatu produk dinyatakan terkenal maka harus di uji apakah ada investasi di luar negeri, adanya promosi besar-besaran serta produk tersebut dikenal khalayak atau tidak.
 Extra Joss sudah didaftarkan pada Direktorat Merek pada 1992, diterima pada 1995 dan diperpanjang pada 2002. Selain di Indonesia, produk Extra Joss juga dikena luas di Filipina, Malaysia, Hongkong serta beberapa negara Afrika. Maka dengan demikin extra joss suda memenuhi syarat unruk dikatakan sebagai merek terkenal.
Dalam pengajuan PK ini, pihak Extra Joss memohon Majelis Hakim Agung memberi putusan menerima permohon PK dan membatalkan Putusan no. 28 K/N/HaKI/2005.
Ada beberapa implikasi bila Enerjos menang di tingkat kasasi. Pertama, setiap merek yang menggunakan kata Jos dengan satu huruf s atau banyak, atau Joss atau sama bunyinya, akan legal sebagai public domain atau milik masyarakat. Siapa pun boleh memakainya. Kedua, akan ada pertentangan antara praktisi hakim dan pemilik merek- merek besar. Ini karena UU 15/2004 bisa diinterpretasikan berbeda-beda. Ketiga, akan ada keraguan pengusaha berinvestasi merek karena tidak adanya kepastian soal meniru dan tidak meniru.
Berdasarkan itu mungkin pertimbangan hakim sehingga Extra Joss kalah karena selain para hakim agung beranggapan Joss adalah milik masyarakat, juga karena kemasan Enerjos adalah botol bukan sachet. Oleh karena pertimbangan itulah maka gugatan dari extra joss tidak dikabulkan.

3.2       Kasus International
Meski memang sudah terdapat regulasi yang mengatur mengenai merek. Tetapi dalam penegakannya dan pelaksanaannya dilapangan tidak bisa lepas dari persengketaan. Dalam kasus sengketa merek “LOTTO” misalnya oleh perusahaan Singapura dan pengusaha Indonesia. Kasus ini terjadi antara Newk Plus Four Far East (PTE) Ltd yang dimana adalah pemakai pertama merek “LOTTO” untuk barang-barang seperti pakaian jadi, kemeja, baju kaos, jaket, celana panjang, rok span, tas, koper, dompet, ikat pinggang, sepatu, sepatu olah raga, baju olah raga, kaos kaki olah raga, raket, bola jaring (net), sandal, selop, dan topi, dengan Hadi Darsono seorang pengusaha dari Indonesia yang produk handuk dan sapu tangannya yang juga menggunakan nama “LOTTO” sebagai merek. Merasa dirugikan akibat kesamaan merek perusahaan LOTTO Singapura pun membawa masalah persengketaan ini ke Pengadilan Negeri.
Atas kasus ini memang merek tidak hanya berperan sebagai pengenal tetapi harus juga sebuah simbol atau tanda yang membedakan dengan jelas antara satu dengan yang lainnya. Maka seharusnya sebuah merek itu memiliki suatu ciri khusu yang identik dengan kepribadiannya dan memang terlahir baru. Buka sebuah merek yang diperbaharui atau sesuatu produk gagal yang diperbaiki menjadi lebih baik. Pemakaian sebuah merek tidak hanya sebatas untuk meraup keuntungan. Merek memiliki tujuan lain yang tidak hanya bisa dipandang dari segi ekonomi. Merek juga memiliki peran untuk memperlancar kegiatan perdagangan barang atau jasa untuk melaksanakan pembangunan. Untuk diperlukan perlindungan merek agar tidak membuat aktifis plagiarisme semakin gencar dengan praktek kotornya. Karena pada dasarnya perlindungan merek tidak hanya untuk kepentingan pemilik merek saja akan tetapi juga untuk kepentingan masyarakat luas sebagai konsumen.
Aktifis plagiarisme tidak hanya terjadi di Indonesia masalah mengenai perlindungan merek juga marak terjadi diberbagai negara. Keuntungan yang didapatkan dengan cara yang tidak sulit mendorong sebuh merek untuk ditiru atau numpang tenar layaknya seorang artis. Peniruan merek terkenal marak terjadi memang dilandasi oleh “itikad tidak baik”. Semata-mata tujuannya hanyalah materi, memperoleh keuntungan dengan nebeng dengan popularitas sebuah merek. Perlakuan yang seperti ini memang tidak seharusnya dan tidak selayaknya untuk mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan terhadap merek terkenal dapat dilakukan dengan berbagai cara. Selain dibutuhkan respon serta inisiatif pemilik merek, dapat juga dilakukan oleh kantor merek dengan menolak permintaan pendaftaran merek yang sama atau mirip dengan merek terkenal.
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan yaitu :
  1. Tidak mengatur definisi dan kriteria merek terkenal.
  2. Penolakan atau pembatalan merek, atau larangan penggunaan merek yang merupakan reproduksi, tiruan atau terjemahan yang dapat menyesatkan atas suatu barang atau jasa yang sama atau serupa apabila perundang-undangan negara tersebut mengatur atau permintaan suatu pihak yang berkepentingan.
  3. Gugatan pembatalan dapat diajukan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dari pendaftaran, namun tidak ada jangka waktu apabila pendaftaran itu dilakukan dengan itikad tidak baik.
Terhadap perlindungan merek terkenal dalam UU No. 15 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 tentang merek diatur dalam pasal 6 ayat 1 (b), ayat 2 ayat 3 (a) yang berbunyi :
Pasal 6 :
1)     Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:
  1. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenisnya.
2)     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (b) dapat pula diberlakukan terhadap barang dan atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3)     Permohonan juga harus ditolak oleh Direktur Jenderel apabila Merek tersebut:
a.       Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak.
Kemudian penjelasan pasal tersebut di atas menyatakan :


Pasal 6 ayat (1) Huruf b :
Penolakan permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal untuk barang dan  atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Disamping itu, diperhatikan pula reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar besaran, investasi di beberapa Negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa Negara. Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survey guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan.
Pasal 6 Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 6 Ayat (3) Huruf a :
Yang dimaksud dengan nama badan hukum adalah nama badan hukum yang digunakan sebagai Merek dan terdaftar dalam daftar Umum Merek.
Dari ketentuan diatas dapat ditentukan kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan keterkenalan suatu merek terkenal yaitu :
  • Pengetahuan masyarakat yang relevan terhadap merek.
  • Pengetahuan masyarakat terhadap promosi merek.
  • Didaftar oleh pemiliknya diberbagai negara.
Selain perlindungan yang telah diatur dalam pasal 6 ayat 1 (b), ayat 2 dan ayat 3 (a) UU No. 15 Tahun 2001, sebetulnya bagi siapa saja yang dengan sengaja mempergunakan merek milik orang lain dapat dikategorikan telah melakukan sesuatu kejahatan dan diancam dengan pidana penjara maupun denda sebagaimana diatur dalam pasal 90, 91, 92, 93, dan 94 Undang undang No. 15 Tahun 2001.
Analisis kasus dikaitkan dengan kasus yang ada suatu merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan pemohon yang beritikat tidak baik dan pemohon ada niat dan sengaja untuk meniru, membonceng atau menjiplak ketenaran merek lain demi kepentingan usahanya yang mengakibatkan menimbulkan kerugian pihak lain atau menyesatkan konsumen. Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan. Permohonan yaitu permintaan pendaftaran merek yang diajukan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri.
Pendaftaran suatu merek berfungsi sebagai berikut :
  1. Untuk barang bukti bagi pemilik yang berhak atas merek yang terdaftar,
  2. Dasar penolakan terhadap merek yang sama keseluruhannya atau sama pada pokoknya yang dimohonkan oleh permohonan lain untuk barang / jasa sejenis,
  3. Sasar untuk mencegah orang lain memakai merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya dalam peredaran untuk barang/ jasa sejenis.
Syarat dan Tata cara Permohonan Pendaftaran Merek menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek terdapat pada pasal 7 yaitu :
  1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal dengan mencantumkan :
    • Tanggal, bulan, dan tahun;
    • Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon;
    • Nama lengkap dan alamat Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa;
    • Warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna;
    • Nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.
  2. Permohonan ditandatangani Pemohon atau Kuasanya.
  3. Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum.
  4. Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya.
  5. Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari satu Pemohon yang secara bersama – sama berhak atas Merek tersebut, semua nama Pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka.
  6. Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas Merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang mewakilkan.
  7. Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan melalui Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas Merek tersebut.
  8. Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual.
  9. Ketentuan mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan tata cara pengangkatannya diatur dengan Keputusan Presiden.
Di dalam kasus “LOTTO” ini, “LOTTO” Singapura memiliki bukti. Memiliki nomor pendaftaran merek dari Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman dengan pendaftaran No. 137430, yang diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terdapat kelalaian yang dilakukan oleh Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman dengan memberikan nomor pendaftaran juga kepada “LOTTO” Indonesia.
Setelah pengajuan perkara “LOTTO” Singapura ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan bukti kasus tersebut tidak kuat, akhirnya “LOTTO” Singapura mengajukan permohonan kasus kepada Mahkamah Agung. Tidak hanya menuntut “LOTTO” milik Hadi Darsono ( Tergugat I ), mereka juga menuntut Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman bagian merek ( Tergugat II ) karena telah lalai memberikan nomor pendaftaran merek kepada perusahaan yang namanya sama tetapi berbeda usaha barangnya setelah perusahaan pertama mendaftarkan mereknya kepada Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman.
Terdaftarnya suatu merek dagang pada Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman dapat dibatalkan oleh Hakim bilamana merek ini mempunyai persamaan baik dalam tulisan ucapan kata, maupun suara dengan merek dagang yang lain yang sudah terlebih dulu dipakai dan didaftarkan, walaupun kedua barang tersebut tergolong tidak sejenis terutama bila hal tersebut berkaitan dengan merek dagang yang sudah terkenal didunia internasional.
Dalam kasus ini Mahkamah Agung konsisten pada putusannya dalam perkara merek terkenal Seven Up – LANVIN – DUNHILL: MA-RI No. 689 K/SIP/1983 dan MA-RI No. 370 K/SIP/1983, yang isinya sebagai berikut: Suatu pendaftaran merek dapat dibatalkan karena mempunyai persamaan dalam keseluruhan dengan suatu merek yang terdahulu dipakai atau didaftarkan, walaupun untuk barang yang tidak sejenis, terutama jika menyangkut merek dagang terkenal. Pengadilan tidak seharusnya melindungi itikad buruk Tergugat I. Tindakan Tergugat I, tidak saja melanggar hak Penggugat tetapi juga melanggar ketertiban umum di bidang perdagangan serta kepentingan khalayak ramai.
Setelah memeriksa perkara ini Mahkamah Agung dalam putusannya berpendirian bahwa judex facti salah menerapkan hukum, Pengadilan Negeri mengesampingkan kenyataan bahwa Penggugat adalah pemakai pertama dari merek LOTTO di Indonesia. Ini merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan perlindungan hukum menurut UU Merek No. 21 tahun 1961. Sementara itu, Tergugat I tidak dapat mengajukan bukti-bukti yang sah dengan tidak dapat membuktikan keaslian bukti-bukti yang diajukannya. Sehingga putusannya harus dibatalkan selanjutnya, Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini. Pendirian Mahkamah Agung tersebut di dasari oleh alasan juridis yang intinya sebagai berikut :
  • Newk Plus Four Far East Ltd, Singapore telah mendaftarkan merek LOTTO di Direktorat Paten & Merek Departemen Kehakiman RI tanggal 29/6/1976 dan 4-3-1985.
  • Merek “LOTTO” secara umum telah terkenal di kalangan masyarakat sebagai merek dagang dari luar negeri. Merek tersebut mempunyai ciri umum untuk melengkapi seseorang yang berpakaian biasa atau berkaitan olah raga beserta perlengkapannya.
  • Merek “LOTTO”, yang didaftarkan Tergugat I adalah jenis barang handuk dan saputangan, pada 6 Oktober 1984.
  • Mahkamah Agung berpendapat, walaupun barang yang didaftarkan Tergugat I berbeda dengan yang didaftarkan Penggugat, tetapi jenis barang yang didaftarkan Tergugat I tergolong perlengkapan berpakaian seseorang. Dengan mendaftarkan dua barang yang termasuk dalam kelompok barang sejenis kelengkapan berpakaian seseorang dengan merek yang sama, dengan kelompok barang yang telah didaftarkan lebih dahulu, Mahkamah Agung menyimpulkan Tergugat I ingin dengan mudah mendapatkan keuntungan dengan cara menumpang keterkenalan satu merek yang telah ada dan beredar di masyarakat. Hal ini berarti Tergugat I dalam prilaku perdagangannya yaitu menggunakan merek perniagaan yang telah ada merupakan perbuatan yang bersifat tidak jujur, tidak patut atau tidak mempunyai itikad baik.
Dengan pertimbangan tersebut di atas, akhirnya Mahkamah Agung memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:
  • Mengadili:
  • Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
  • Mengadili Sendiri :
    • Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
    • Menyatakan Penggugat sebagai pemakai pertama di Indonesia atas merek dagang “LOTTO” dan oleh karena itu, mempunyai hak tunggal/khusus untuk memakai merek tersebut di Indonesia.
    • Menyatakan bahwa merek “LOTTO” milik Tergugat I yaitu yang didaftarkan pada Tergugat II dengan nomor registrasi 87824 adalah sama dengan merek Penggugat baik dalam tulisan, ucapan kata, maupun suara, dan oleh karena itu dapat membingungkan, meragukan serta memperdaya khalayak ramai tentang asal-usul dan kualitas barang.
    • Menyatakan pendaftaran merek dengan registrasi 187824 dalam daftar umum atas nama Tergugat I batal, dengan segala akibat hukumnya.
    • Memerintahkan Tergugat II untuk mentaati putusan ini dengan membatalkan pendaftaran merek dengan nomor registrasi 197824 dalam daftar umum.

























BAB IV
PENUTUP


4.1       Saran
Berikut saran yang diberikan kelompok untuk masing-masing kasus yang telah dibahas sebelumnya:
1.      Kasus hak merek antara extrajoss dengan enerjos adalah seharusnya pihak dari enerjos, tidak mengikuti nama yang sama dengan merek yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, pihak dari enerjos mungkin harus lebih kreatif memilih nama merek. Dengan demikian, masyarakat/konsumen yang membeli/memakai produk tersebut, tidak keliru dengan pihak yang sebelumnya. Di sisi lainnya, pemerintah juga harus lebih selektif dalam perizinan. Karena seharusnya pemerintah tidak mengeluarkan izin terhadap produk enerjos yang mempunyai nama merek sama dengan extrajoss.
2.      Menentukan sebuah keputusan para aparat hukum dalam kasus ini Pengadilan Negeri hendaknya bersikap lebih bijak dalam menentukan keputusan hukuman. Perlu sebuah pertimbangan yang matang sebelum memberikan keputusan bahwa Hadi Dasono tidak bersalah. Karena Pengadilan Negeri tidak melihat alasan yang tidak baik dari Hadi Darsono yaitu untuk mengambil keuntungan yang dapat ia peroleh dari penjualan produk-produk “LOTTO” dengan menjual ketenaran nama “LOTTO” tersebut. Sebab tidak sepenuhnya kesalahan dari Hadi Darsono sebab kekeliruan dari Bagian Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman yang kurang teliti. Bagian Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman harusahnya lebih teliti dalam memeriksa data-data merek yang ada. Agar tidak mengalami kesalahan yang sama lagi. Karena jika hal ini terus menerus terjadi akan menggangu ketertiban perdagangan yang berada di Indonesia. Agar meminimalisir bahkan menghilangkan kesalahan serta kecurangan atas merek di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA


Http://nurjannah.staff.gunadarma.ac.id
R, Djubaedillah. 2003. Sejarah, Teori dan Praktek Hak Milik Intelektual di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.